Sabtu, 23 Juli 2011

Hukum Pidana Lanjutan (Gugurnya Hak Menuntut)

GUGURNYA HAK MENUNTUT
Hal-hal yang menyebabkan gugurnya hak menuntut pidana, antara lain :
Yang diatur dalam KUHP, ada 4 jenis yaitu :
1.       Ne bis in idem ialah seseorang tidak boleh dituntut sekali lagi terhadap perbuatan yang baginya telah diputuskan dengan keputusan hakim yang tidak boleh dirubah lagi atau mempunyai kekuatan tetap.
Prinsip ne bis in idem ini tidak hanya dianut dalam perkara pidana, tetapi juga dalam perkara perdata, seperti terlihat dalam pasal 1917 BW.
Asas ini diatur dalam pasal 76 KUHP dan yang menjadi dasar dari ajaran ini ada 2 hal, yaitu :
a.       Untuk menjunjung tinggi Keluhuran Negara serta Kehormatan Pengadilan
b.      Untuk memeberikan rasa kepastian hukum bagi perseorangan yang pernah dijatuhi pidana
Syarat ajaran ne bis in idem melihat pasal 76 KUHP, antara lain :
a.       Orang yang dituntut itu harus satu, jadi orangnya harus sama
b.      Melakukan perbuatan yang sama
c.       Telah dijatuhi keputusan hakim yang mempunyai kekeuatan tetap dan yang mengenai perkara yang sama.

2.       Matinya tertuduh
Hal ini diatur dalam pasal 77 KUHP. Apabila seorang terdakwa meninggal dunia sebelum ada putusan terakhir dari pengadilan, maka menurut pasal 77 KUHP hak menuntut itu gugur (vervallen). Ketentuan ini adalah sebagai konsekwensi dari sifat pidana yang hanya di dasarkan atas kesalahan diri pribadi seseorang manusia. Artinya harus dianggap bahwa hanya seseorang pribadi itu sendirilah yang harus bertanggung jawab. Kesalahan hanya dapat dituntut dari seseorang yang melakukannya sendiri.

3.       Kadaluwarsa atau Verjaring 
Diatur dalam pasal 78 s/d 81 KUHP.
Verjaring adalah suatu pengaruh dari lampau waktu yang diberikan oleh UU untuk menuntut seorang tertuduh dalam perbuatan pidana.
Yang menjadi dasar hukum dari kadaluwarsa, adalah :
a.       Dengan lampau waktu yang agak lama maka ingatan masyarakat terhadap perbuatan pidana yang dilakukan seseorang pada beberapa waktu yang lampau semakin tidak lengkap pula.
b.      Dengan lampau waktu yang agak lama, maka kemungkinan untuk memeperoleh bahan-bahan bukti semakin berkurang oleh karena hilang, rusak, dan sebagainya, sehingga sukar untuk dikumpulkan dan kemungkinan sudah tidak dapat dipercaya lagi.
c.       Dengan lampaunya waktu yang agak lama maka seseorang tertuduh yang takut dituntut dan yang belum tertangkap biasanya ia melarikan diri keluar daerah atau keluar negeri, dimana ia telah terpisah dari keluarganya. Keadaan yang demikian bisa dianggap sebagai pengganti pidananya yang cukup berat.
d.      Untuk memberikan rasa kepastian hukum kepada individu. Ini diatur dalam pasal 78 dimana ditentukan tenggang-tenggang kadaluwarsa. Hak menuntut gugur sesudah lewat waktu 1 tahun, 6 tahun, 12 tahun.
Sebagai ketentuan umum oleh pasal 79 KUHP ditentukan bahwa tenggang kadaluwarsa yang menentukan sebagai berikut :
·         Kadaluwarsa mulai berlaku pada hari sesudah perbuatan dilakukan, kecuali dalam hal-hal berikut :
a)      Mengenai pemalsuan mata uang, tenggang mulai berlaku pada hari sesudah barang yang dipalsu atau mata uang yang dirusak digunakan oleh si pembuat.
b)      Mengenai kejahatan yang tersebut dalam pasal 328, 329, 330, dan 333, tenggang dimulai pada hari sesudah orang yang langsung terkena oleh kejahatan dibebaskan atau meninggal dunia.
c)       Pelanggaran tersebut dalam pasal 556 s/d 558 a mulai pada hari sesudah daftar yang memuat pelanggaran itu dipindah.
Walaupun berlakunya jangka waktu kadaluwarsa dapat menggugurkan hak untuk menuntut pidana, namun sebaliknya bahwa berlakunya jangka waktu kadaluwarsa itu dapat dihentikan  karena dua hal, yaitu :
1)      Stuiting van de verjaring/penghentian kadaluwarsa (pasal 80 KUHP)
Ini berarti bahwa tenggang kadaluwarsa dihentikan sehingga tidak berjalan oleh karena suatu hal, tetapi pada waktu itu mulai lagi tenggang kadaluwarsa baru. Sebagai hal yang mencegah kadaluwarsa ini adalah menurut pasal 80 KUHP tiap-tiap perbuatan penuntutan. Merata adalah pendapat bahwa istilah perbuatan penuntutan ini ditafsirkan secara sempit, yaitu tidak meliputi segala tindakan dari jaksa, tetapi hanya tindakan yang betul-betul merupakan penuntutan, yaitu menyerahkan perkaranya kepada pengadilan dan tindakan-tindakan tertentu dari jaksa kemudian selam pemeriksaan di muka hakim berjalan, seperti misalnya permintaan jaksa supaya terdakwa ditahan sementara. Yang tidak termasuk perbuatan penuntutan adalah tindakan jaksa dalam taraf pengusutan perkara pidana, jadi sebelum penyerahan perkara kepada hakim.
2)      Schorsing van de verjaring/penundaan kadaluwarsa (pasal 81 KUHP)
Ini terjadi apabila jangka waktu kadaluwarsa telah mulai berlaku, maka pada suatu saat berjalannya jangka waktu itu ditangguhkan selama beberapa waktu untuk kemudian dilanjutkan lagi dengan pengertian bahwa jangka waktu yang telah berjalan sebelum diberhentikan turut diperhitungkan, dan waktu selama jangka waktu dihentikan tidak turut diperhitungkan.

4.       Penyelesaian diluar proses pengadilan/Afdoening buiten proces
Diatur dalam pasal 82 KUHP, dan menurut pasal 82 hak menuntut pidana karena pelanggaran yang semata-mata diancam dengan pidana pokok tidak lain daripada denda, tiada berlaku lagi jika maksimum denda dibayar dengan kemauan sendiri dan demikian juga dibayar ongkos perkara. Jika penuntutan telah dilakukan dengan ijin pejabat yang ditunjuk dalam undang-undang umum, dan dalam   tempo yang ditetapkannya.
Dapat disimpulankan :
a)      Orang yang melakukan pelanggaran itu dengan sukarela membayar sejumlah uang yang sama dengan uang denda yang tertinggi yang diancamkan terhadap pelanggaran itu.
b)      Tawaran itu disetujui oleh kepala jawatan yang bersangkutan.
Dari ketentuan pasal 82 KUHP dapat diketahui bahwa bangunan hukum penyelesaian diluar proses pengadilan hanya berlaku terhadap pelanggaran semata-mata diancam pidana denda. Kalau lain dari denda tidak diadakan penyelesaian diluar proses pengadilan.
Syarat-syarat agar seseorang dapat lepas dari tuntutan pidana yang dijalankan terhadapnya berhubungan dengan pelanggaran yang dilakukannya menurut pasal 82, yaitu:
a.       Dengan membayar secara sukarela denda tertinggi (maksimum) yang diancamkan kepada pelanggaran itu.
b.      Dengan ijin dari pegawai yang ditunjuk UU.
Tapi terhadap bangunan hukum ini, ada beberapa sarjana yang tidak setuju, dengan alasan :
·         Dilaksanakannya bangunan hukum ini diluar pengadilan adalah bertentangan dengan sifat hukum pidana sebagai hukum publik yangs semata-mata harus dilaksanakan demi kepentingan umum, sehingga dengan demikian maka apabila orang diijinkan untuk mengugurkan tuntutan pidananya dengan harus membayar sejumlah uang saja, maka ini seolah-olah yang dapat menebus dengan membayar denda saja, padahal sebenarnya keputusan hakimlah yang menentukan apakah penuntutan itu boleh ditebus atau tidak.
·         Maksud pasal 82 KUHP supaya pengadilan jangan lagi dibebani banyak pekerjaan yang tidak penting oleh karena didalam praktek ongkos penebusan itu terlalu tinggi padahal pidana denda yang dijatuhkan oleh hakim biasanya jauh denda maksimum yang ditentukan pada pelanggaran itu.
Meski ada sarjana yang tidak setuju tetapi sistem ini hingga kini masih dipertahankan walau terbatas pada pelanggaran-pelanggaran ringan saja.
Yang diatur diluar KUHP, antara lain :
Abolisi dan amnesti, tetapi abolisi dan amnesti ini diatur dalam UUD, tidak dalam KUHP. Oleh karena diatur dalam UUD maka kedua hal itu hanya dapat diberikan oleh Kepala Negara dengan sifat tertentu.
1.       Abolisi
Wewenang Kepala Negara dengan UU untuk menghentikan atau meniadakan segala penuntutan tentang satu atau beberapa orang tertentu. Dengan lain perkataan bahwa dengan keputusan abolisi ini, maka setiap orang yang tersangkut dalam satu  atau beberapa delik tertentu yang belum atau sedang dalam penuntutan dihentikan atau ditiadakan. Demikian juga orang yang masih dalam pemeriksaan pendahuluan juga dihentikan bahkan terhadap orang yang belum diketahuipun ikut dihentikan.


2.       Amnesti
Wewenang Kepala Negara dengan UU atau atas kuasa UU yang dengan pemberian amnesti ini, maka semua akibat hukum pidana terhadap orang-orang yang telah melakukan sesuatu delik dihapuskan atau dihentikan.
Perbedaan antara abolisi dengan amnesti :
Abolisi                   : Hanya menggugurkan penuntutan terhadap mereka yang belum dipidana.
Amnesti               : Mempunyai akibat hukum yang jauh lebih luas, sebab amnesti dapat diberikan kepada mereka yang sudah dipidana maupun yang belum dipidana. Artinya : tidak hanya tindakan penuntutan yang ditiadakan akan tetapi semua akibat hukum yang berupa apapun ditiadakan juga.
Yang dimaksud UU : tiap-tiap kali apabila Presiden hendak memberikan amnesti dan abolisi harus diberikan dengan UU, artinya harus dengan persetujuan DPR . Jadi UU-nya harus diadakan lebih dahulu sebelum memberikan abolisi dan amnesti itu sendiri.
Alasan memberikan amnesti dan abolisi itu ialah terletak kepada kebijaksanaan pemerintah yang pada umumnya kepentingan negaralah yang menjadi aturan atau ukuran.
HAL-HAL YANG MENYEBABKAN GUGURNYA HAK UNTUK MENJALANKAN PIDANA :
Yang diatur dalam KUHP :
1.       Matinya terhukum (Pasal 83)
Kewenangan menjalankan pidana hapus jika terhukum meninggal dunia.
2.       Kadaluwarsa (Pasal 84-85)
Jika kita lihat pasal 84 KUHP, maka lamanya kadaluwarsa yang dapat menggugurkan hak untuk melaksanakan pidana adalah 2 tahun bagi segala pelanggaran, 5 tahun bagi kejahatan-kejahatan yang dilaksanakan dengan alat-alat pencetak, 1/3 lebih lama dari jangka waktu kadaluwarsa yang dapat menggugurkan menuntut pidana bagi lain-lain kejahatan. Sehingga berdasarkan ini maka perhitungan 8 tahun untuk kejahatan yang diancam pidana denda, kurungan, penjara yang tidak lebih dari 3 tahun (lihat pasal 78 ayat 2 dan tambah dengan 1/3 tahunnya). 16 tahun untuk kejahatan yang diancam pidana penjara yang lebih dari 3 tahun (lihat pasal 78 ayat 3 dan tambah dengan 1/3nya). Akan tetapi megenai lamanya jangka waktu ini terdapat pembatasan yaitu bahwa lamanya untuk menggugurkan hal untuk menjalankan pidana sekali-kali tidak boleh dikurangi dengan lamanya pidana yang telah dijatuhkan oleh hakim (pasal 84 ayat 3). Oleh karena itu hak untuk menjalankan pidana penjara seumur hidup tidak dapat gugur karena kadaluwarsa, juga hak untuk menjalankan pidana mati tidak dapat gugur karena kadaluwarsa (pasal 84 ayat 4).
Mulai berlakunya jangka waktu kadaluwarsa atau jangka waktu kadaluwarsa menjalankan pidana mulai dihitung pada hari berikutnya sejak putusan hakim mulai dilaksanakan (pasal 85 KUHP).


DAFTAR BACAAN :
Prof. Dr . Wirjono Prodjodikoro, S.H, 2008,  Asas-Asas  Hukum  Pidana di Indonesia, Refika Aditama, Bandung.
Diktat Hukum Pidana.


3 komentar:

  1. Pak saya mau bertanya gmn caranya pak tq

    BalasHapus
  2. Saya mempunyai masalah klrg yang dimana adanya dugaan pemalsuan yg dilakukan oleh sdr angkat saya namun hal ini baru kami ketahui pada tahun 2012 yg dimana peninggalan harta warisan ortu kami sdh dialihkan oleh sdr angkat dr almarhum bapak kami. Yang dimana kejadiannya sekitar tahun 1982 sdr angkat kami membuat penetepan ahli waris satu satunya dr almarhum ortu kami dan terakhir diketahui tanah ortu kami dijual kembali oleh sdr. Angkat kami pada tahun 2009. Yang kami tanyakan apakah kami bisa melakukan penuntutan pidana terhadap sdr. Angkat kami terkait dia sdh membuat surat palsu tsb. Mengingat masalah kadaluarsa tsb. Kami baru mengetahui sekitar tahun 2012 kemarin, mohon pencerahan dr bapak, thanks.

    BalasHapus