Minggu, 24 Juli 2011

Materi Hukum Islam


CIRI-CIRI DAN TUJUAN HUKUM ISLAM

Ciri-ciri hukum islam, antara lain :
1.        Merupakan bagian dan bersumber  dari agama islam.
2.        Mempunyai hubungan yang erat dan tidak dapat dipisahkan dari iman atau aqidah dan kesusilaan atau akhlak islam.
3.        Dikenal ada 2 istilah kunci yaitu : a.
a.       Ibadat
b.      Fiqih
4.        Terdiri dari 2 bidang utama yaitu :
a.    Bidang  ibadah yang bersifat tertutup karena telah sempurna
b.   Bidang muamalah dalam arti yang luas, bersifat terbuka untuk dikembangkan oleh manusia yang memenuhi syarat dari waktu kewaktu.
5.        Strukturnya berlapis-lapis yaitu : a.
a.       Al quran
b.      Sunnah rasul
c.       Hasil ijtihad manusia yang memenuhi syariat alquran dan sunnah nabi dan pelaksanaan dalam praktek dapat berupa keputusan hakim maupun amalan-amalan umat islam di dalam masyarakat.
6.        Mendahulukan kewajiban daripada hak
7.       dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu :
a.       Hukum taklifi, yakni al-ahkam al-khamsah
b.      Hukum wadhi (faktor-faktor yang  menyebabkan timbulnya hukum itu sendri yaitu fakto sebab, syarat, halangan).


Ciri-ciri hukum islam yang menurut T.M. Hasbi Ash Shieddieqy dalam bukunya falsafah hukum islam (1975 :  156-212) :

1.       Berwatak universal, berlaku abadi untuk umat islam dimanapun mereka berada,tidak terbatas pada umat di suatu tempat atau negara pada suatu masa saja.
2.       Menghormati martabat manusia sebagai kesatuan jiwa dan raga rohani dan jasmani serta memelihara kemuliaan manusia dan kemanusiaan secara keseluruhan.
3.       Pelaksanaannya dalam praktek digerakkan oleh iman dan akhlak umat Islam .

Tujuan hukum islam
Tujuan hukum islam secara umum adalah Dar-ul mafaasidiwa jalbul mashaalihi (mencegah terjadinya kerusakan dan mendatangkan kemaslahatan), mengarahkan manusia pada kebenaran untuk mencapai kebahagiaan hidup mereka dunia dan akhirat, dengan jalan mengambil segala yang berguna dan mencegah atau menolak yang madlarat, yang tidak berguna dalam kehidupan manusia.
Abu Ishaq As-Sathibi merumuskan lima tujun hukum islam (maqashid al-khamsah), antara lain :
1.        Memelihara agama
Agama adalah sesuatu yang harus dimiliki oleh setiap manusia agar martabatnya dapat terangkat lebih tinggi dan martabat makhluk lain dan memenuhi hajat jiwanya.  Beragama merupakan kebutuhan manusia yang harus dipenuhi, karena agamalah yang dapat menyentuh nurani manusia. Agama islam harus terpelihara dari ancaman orang-orang  yang merusak aqidah, syariah, aqlak atau mencampuradukan ajaran islam dengan paham/aliran yang batil. Agama islam memberi perlindungan kepada pemeluk agama lain untuk menjalankan agama sesuai dengan keyakinannya, agama islam tidak memaksakan pemeluk agama lain meninggalkan agamanya untuk memeluk agama islam disebutkan dalam Al Quran Surat Al Baqarah : 256.
2.       Memelihara jiwa
Menurut hukum islam jiwa harus dilindungi. Hukum islam wajib memelihara hak  manusia untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya. Islam melarang pembunuhan sebagai upaya menghilangkan jiwa manusia danmelindungi berbagai sarana yang dipergunakan oleh manusia untuk mempertahankan kemaslahatan hidupnya (QS.6:151. ;QS.17:33. QS.25:68)
3.       Memelihara akal
Islam mewajibkan seseorang untuk memelihara akalnya karena akal mempunyai peranan sangat penting dalam hidup dan kehidupan manusia. Dengan akal manusia dapat memahami wahyu Allah dengan baik yang terdapat dalam kitab suci (ayat-ayat qauliyah) maupun yang terdapat pada alam (ayat-ayat kauniyah). Dengan akal manusia dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sesorang tidak akan dapat menjalankan hukum islam dengan baik dan benar tanpa mempergunakan akal yang sehat. Untuk itu islam melarang minuman yang memabukkan (khamar) dan memberi hukuman pada perbuatan orang yang merusak akal (QS. 5:90)
4.       Memelihara keturunan
Dalam hukum islam memelihara keturunan adalah hal yang sangat penting. Karena itu harus melalui perkawinan yang sah menurut ketentuan yang ada dalam Al-Quran dan As-Sunnah dan dilarang melakukan perbuatan zina. Hukum kekeluargaan dan hukum kewarisan yang ada dalam Al-Qur’an merupakan hukum yang berkaitan erat dengan pemurnian keturunan pemeliharaan keturunan. Dalam Al-Quran dan Sunnah hukum-hukum yang berkenaan dengan masalah perkawinan dan kewarisan diterangkan secara tegas dan rinci (lihat QS. 4:23; QS. 17:32).
5.       Memelihara harta
Menurut ajaran islam harta merpuakan pemberian Allah kepada manusia untuk kelangsungan hidup meresa. Untuk itu manusia sebagai khalifah dibumi dilindungi haknya untuk memperoleh harta dengan cara-cara yang halal, sah menurut hukum dan benar menurut ukuran moral. Pada prinsipnya hukum islam tidak mengakui hak milik seseorang atas sesuatu benda secara mutlak, karena kepemilikin atas suatu hanya ada pada Allah. Namun karena diperlukan adanya suatu kepastian hukum dalam masyarakat, untuk menjamin kedamaian dalam kehidupan bersama, hak milik seseorang atas suatu benda diakui (Anwar Haryono, 1968 : 140).
Jadi, hukum islam ditetapkan oleh Allah untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia itu sendiri ,baik yang bersifat primer, sekunder,  maupun tersier  (dloruri haaji dan tahsini).

1.       Perbedaan Syari’at dengan Fiqih :


Syari’at
Fiqih
Sumber
Wahyu dari Tuhan dan Sunnah Nabi yang ter dapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi

Pemahaman dari manusia tentang syariat yang telah memenuhi syariat

Sifat
Bersifat fundamental dan lebih luas ruang lingkupnya
Bersifat instrumantal dan terbatas ruang lingkupnya yaitu hanya menyangkut perbuatan manusia khususnya perbuatan hukum

Nilai-Nilai
ciptaan tuhan dan ketentuan-ketentuan dari rasul oleh karena itu ketentuannya selalu bersifat abadi

karya manusia yang ketentuannya tidak berlaku abadi
Jumlahnya
Syari’at hanya satu, karena sumbernya satu dari Al-Qur’an
Fiqih lebih dari satu hal tersebut dapat dilihat di dalam ajaran dari masing-masing mazhab (aliran)

Ruang Lingkup
Syari’at menunjuk kesatuan dlm islam
Fiqih menunjukan keragaman dalam islam






2.       Perbedaan Iman, Syari’at, dan Akhlak :

Ajaran Islam
Iman
Syari’at
Akhlak
Terdiri dari
Uluhiyah, Rububiyah, Asma Wasifat
Ibadah (Mahdhan), Mu’amalah (Ghoir Mahdhan)
Khaliq, Makhluk
Ruang Lingkup
Iman Kepada Allah, Iman Kepada Malaikat, Iman Kepada Kitab Suci, Iman Kepada Rasul, Iman Kepada Hari Akhir, Iman Kepada Qadha Qadhar
Ibadah : Bersuci (Thaharah), Shalat, Puasa, Zakat, Haji.
Mu’amalah : Sistem keluarga (Munakahat), Sistem ekonomi (Mu’amalat Tijariah), Sistem politik (Fiqih Siasah),
Sistem pembagian harta pusaka (mawarist), Hukum perdata, Hukum pidana (Jinayat), Pengembangan IPTEK Islam
Hubungan dengan Allah, Hubungan dengan sesama manusia, Hubungan dengan alam semesta, Hubungan dengan makhluk gaib

3.       Perbedaan Syari’at dengan Hukum :

Syari’at
Hukum
Sumber
Bersumber dari wahyu tuhan
Bersumber dari rasio manusia
Obyek
Peraturan-peraturan lahir mengenai hubungan sesama manusia dengan benda dan dengan Tuhan
Meliputi hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan benda saja

Sanksinya
Berlaku baik didunia maupun di akhirat

hanya bersifat keduniawian saja








4.       Perbedaan Aqidah dengan Mu’amalat :                                                                                                               
Kualifikasi
Aqidah
Mu’amalat
Kaidah asal (dalil/asas)
Larangan haram
Kebolehan/jaiz

Pokok dan dasar pengaturan
Berdasarkan kaidah asal, pokok dan dasar pengaturan ialah taat/patuh atinya mengikuti apa yang diperintahkan oleh Allah sebagaimana terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi. Tidak boleh dilebih-lebihkan atau dikurangi
Berdasarkan kaidah asal, dasar pengaturan, semua perbuatan yang termasuk kedalam kategori muamalat boleh saja dilakukan, kecuali kalau tentang perbuatan itu telah ada kaidah larangan dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi ,seperti : kaidah larangan membunuh ,mencuri merampok, berzina, dan lain-lain

Sifat pengaturan
Tertutup dan terinci tidak mungkin ada pembaharuan atau yang disebut modernisasi ,yaitu proses yang membawa perubahan dan perombakan mengenai kaidah ,susunan, cara dan tata cara beribadah. Sesuai dengan perkembangan zaman yang mungkin ada hanyalah penggunaan alat-alat modern dalam pelaksanaannya

Terbuka dan diatur pokok-pokoknya saja. Dapat dikembangkan melalui ijtihad manusia yang telah memenuhi syarat untuk berijtihad. Dalam bidang mu’amalat dapat saja dilakukan modernisasi, asal sesuai dan tidak bertentangan dengan jiwa ajaran islam











 Bahan Bacaan :
Adiwati, SH. MH, 2009, Diktat Kuliah Hukum Islam, Fakultas Hukum Universitas Udayana.
Wahyuddin, Achmad, dkk, 2009, Pendidikan Agama Islam, Gramedia, Jakarta.

Sabtu, 23 Juli 2011

Hukum Pidana Lanjutan (Gugurnya Hak Menuntut)

GUGURNYA HAK MENUNTUT
Hal-hal yang menyebabkan gugurnya hak menuntut pidana, antara lain :
Yang diatur dalam KUHP, ada 4 jenis yaitu :
1.       Ne bis in idem ialah seseorang tidak boleh dituntut sekali lagi terhadap perbuatan yang baginya telah diputuskan dengan keputusan hakim yang tidak boleh dirubah lagi atau mempunyai kekuatan tetap.
Prinsip ne bis in idem ini tidak hanya dianut dalam perkara pidana, tetapi juga dalam perkara perdata, seperti terlihat dalam pasal 1917 BW.
Asas ini diatur dalam pasal 76 KUHP dan yang menjadi dasar dari ajaran ini ada 2 hal, yaitu :
a.       Untuk menjunjung tinggi Keluhuran Negara serta Kehormatan Pengadilan
b.      Untuk memeberikan rasa kepastian hukum bagi perseorangan yang pernah dijatuhi pidana
Syarat ajaran ne bis in idem melihat pasal 76 KUHP, antara lain :
a.       Orang yang dituntut itu harus satu, jadi orangnya harus sama
b.      Melakukan perbuatan yang sama
c.       Telah dijatuhi keputusan hakim yang mempunyai kekeuatan tetap dan yang mengenai perkara yang sama.

2.       Matinya tertuduh
Hal ini diatur dalam pasal 77 KUHP. Apabila seorang terdakwa meninggal dunia sebelum ada putusan terakhir dari pengadilan, maka menurut pasal 77 KUHP hak menuntut itu gugur (vervallen). Ketentuan ini adalah sebagai konsekwensi dari sifat pidana yang hanya di dasarkan atas kesalahan diri pribadi seseorang manusia. Artinya harus dianggap bahwa hanya seseorang pribadi itu sendirilah yang harus bertanggung jawab. Kesalahan hanya dapat dituntut dari seseorang yang melakukannya sendiri.

3.       Kadaluwarsa atau Verjaring 
Diatur dalam pasal 78 s/d 81 KUHP.
Verjaring adalah suatu pengaruh dari lampau waktu yang diberikan oleh UU untuk menuntut seorang tertuduh dalam perbuatan pidana.
Yang menjadi dasar hukum dari kadaluwarsa, adalah :
a.       Dengan lampau waktu yang agak lama maka ingatan masyarakat terhadap perbuatan pidana yang dilakukan seseorang pada beberapa waktu yang lampau semakin tidak lengkap pula.
b.      Dengan lampau waktu yang agak lama, maka kemungkinan untuk memeperoleh bahan-bahan bukti semakin berkurang oleh karena hilang, rusak, dan sebagainya, sehingga sukar untuk dikumpulkan dan kemungkinan sudah tidak dapat dipercaya lagi.
c.       Dengan lampaunya waktu yang agak lama maka seseorang tertuduh yang takut dituntut dan yang belum tertangkap biasanya ia melarikan diri keluar daerah atau keluar negeri, dimana ia telah terpisah dari keluarganya. Keadaan yang demikian bisa dianggap sebagai pengganti pidananya yang cukup berat.
d.      Untuk memberikan rasa kepastian hukum kepada individu. Ini diatur dalam pasal 78 dimana ditentukan tenggang-tenggang kadaluwarsa. Hak menuntut gugur sesudah lewat waktu 1 tahun, 6 tahun, 12 tahun.
Sebagai ketentuan umum oleh pasal 79 KUHP ditentukan bahwa tenggang kadaluwarsa yang menentukan sebagai berikut :
·         Kadaluwarsa mulai berlaku pada hari sesudah perbuatan dilakukan, kecuali dalam hal-hal berikut :
a)      Mengenai pemalsuan mata uang, tenggang mulai berlaku pada hari sesudah barang yang dipalsu atau mata uang yang dirusak digunakan oleh si pembuat.
b)      Mengenai kejahatan yang tersebut dalam pasal 328, 329, 330, dan 333, tenggang dimulai pada hari sesudah orang yang langsung terkena oleh kejahatan dibebaskan atau meninggal dunia.
c)       Pelanggaran tersebut dalam pasal 556 s/d 558 a mulai pada hari sesudah daftar yang memuat pelanggaran itu dipindah.
Walaupun berlakunya jangka waktu kadaluwarsa dapat menggugurkan hak untuk menuntut pidana, namun sebaliknya bahwa berlakunya jangka waktu kadaluwarsa itu dapat dihentikan  karena dua hal, yaitu :
1)      Stuiting van de verjaring/penghentian kadaluwarsa (pasal 80 KUHP)
Ini berarti bahwa tenggang kadaluwarsa dihentikan sehingga tidak berjalan oleh karena suatu hal, tetapi pada waktu itu mulai lagi tenggang kadaluwarsa baru. Sebagai hal yang mencegah kadaluwarsa ini adalah menurut pasal 80 KUHP tiap-tiap perbuatan penuntutan. Merata adalah pendapat bahwa istilah perbuatan penuntutan ini ditafsirkan secara sempit, yaitu tidak meliputi segala tindakan dari jaksa, tetapi hanya tindakan yang betul-betul merupakan penuntutan, yaitu menyerahkan perkaranya kepada pengadilan dan tindakan-tindakan tertentu dari jaksa kemudian selam pemeriksaan di muka hakim berjalan, seperti misalnya permintaan jaksa supaya terdakwa ditahan sementara. Yang tidak termasuk perbuatan penuntutan adalah tindakan jaksa dalam taraf pengusutan perkara pidana, jadi sebelum penyerahan perkara kepada hakim.
2)      Schorsing van de verjaring/penundaan kadaluwarsa (pasal 81 KUHP)
Ini terjadi apabila jangka waktu kadaluwarsa telah mulai berlaku, maka pada suatu saat berjalannya jangka waktu itu ditangguhkan selama beberapa waktu untuk kemudian dilanjutkan lagi dengan pengertian bahwa jangka waktu yang telah berjalan sebelum diberhentikan turut diperhitungkan, dan waktu selama jangka waktu dihentikan tidak turut diperhitungkan.

4.       Penyelesaian diluar proses pengadilan/Afdoening buiten proces
Diatur dalam pasal 82 KUHP, dan menurut pasal 82 hak menuntut pidana karena pelanggaran yang semata-mata diancam dengan pidana pokok tidak lain daripada denda, tiada berlaku lagi jika maksimum denda dibayar dengan kemauan sendiri dan demikian juga dibayar ongkos perkara. Jika penuntutan telah dilakukan dengan ijin pejabat yang ditunjuk dalam undang-undang umum, dan dalam   tempo yang ditetapkannya.
Dapat disimpulankan :
a)      Orang yang melakukan pelanggaran itu dengan sukarela membayar sejumlah uang yang sama dengan uang denda yang tertinggi yang diancamkan terhadap pelanggaran itu.
b)      Tawaran itu disetujui oleh kepala jawatan yang bersangkutan.
Dari ketentuan pasal 82 KUHP dapat diketahui bahwa bangunan hukum penyelesaian diluar proses pengadilan hanya berlaku terhadap pelanggaran semata-mata diancam pidana denda. Kalau lain dari denda tidak diadakan penyelesaian diluar proses pengadilan.
Syarat-syarat agar seseorang dapat lepas dari tuntutan pidana yang dijalankan terhadapnya berhubungan dengan pelanggaran yang dilakukannya menurut pasal 82, yaitu:
a.       Dengan membayar secara sukarela denda tertinggi (maksimum) yang diancamkan kepada pelanggaran itu.
b.      Dengan ijin dari pegawai yang ditunjuk UU.
Tapi terhadap bangunan hukum ini, ada beberapa sarjana yang tidak setuju, dengan alasan :
·         Dilaksanakannya bangunan hukum ini diluar pengadilan adalah bertentangan dengan sifat hukum pidana sebagai hukum publik yangs semata-mata harus dilaksanakan demi kepentingan umum, sehingga dengan demikian maka apabila orang diijinkan untuk mengugurkan tuntutan pidananya dengan harus membayar sejumlah uang saja, maka ini seolah-olah yang dapat menebus dengan membayar denda saja, padahal sebenarnya keputusan hakimlah yang menentukan apakah penuntutan itu boleh ditebus atau tidak.
·         Maksud pasal 82 KUHP supaya pengadilan jangan lagi dibebani banyak pekerjaan yang tidak penting oleh karena didalam praktek ongkos penebusan itu terlalu tinggi padahal pidana denda yang dijatuhkan oleh hakim biasanya jauh denda maksimum yang ditentukan pada pelanggaran itu.
Meski ada sarjana yang tidak setuju tetapi sistem ini hingga kini masih dipertahankan walau terbatas pada pelanggaran-pelanggaran ringan saja.
Yang diatur diluar KUHP, antara lain :
Abolisi dan amnesti, tetapi abolisi dan amnesti ini diatur dalam UUD, tidak dalam KUHP. Oleh karena diatur dalam UUD maka kedua hal itu hanya dapat diberikan oleh Kepala Negara dengan sifat tertentu.
1.       Abolisi
Wewenang Kepala Negara dengan UU untuk menghentikan atau meniadakan segala penuntutan tentang satu atau beberapa orang tertentu. Dengan lain perkataan bahwa dengan keputusan abolisi ini, maka setiap orang yang tersangkut dalam satu  atau beberapa delik tertentu yang belum atau sedang dalam penuntutan dihentikan atau ditiadakan. Demikian juga orang yang masih dalam pemeriksaan pendahuluan juga dihentikan bahkan terhadap orang yang belum diketahuipun ikut dihentikan.


2.       Amnesti
Wewenang Kepala Negara dengan UU atau atas kuasa UU yang dengan pemberian amnesti ini, maka semua akibat hukum pidana terhadap orang-orang yang telah melakukan sesuatu delik dihapuskan atau dihentikan.
Perbedaan antara abolisi dengan amnesti :
Abolisi                   : Hanya menggugurkan penuntutan terhadap mereka yang belum dipidana.
Amnesti               : Mempunyai akibat hukum yang jauh lebih luas, sebab amnesti dapat diberikan kepada mereka yang sudah dipidana maupun yang belum dipidana. Artinya : tidak hanya tindakan penuntutan yang ditiadakan akan tetapi semua akibat hukum yang berupa apapun ditiadakan juga.
Yang dimaksud UU : tiap-tiap kali apabila Presiden hendak memberikan amnesti dan abolisi harus diberikan dengan UU, artinya harus dengan persetujuan DPR . Jadi UU-nya harus diadakan lebih dahulu sebelum memberikan abolisi dan amnesti itu sendiri.
Alasan memberikan amnesti dan abolisi itu ialah terletak kepada kebijaksanaan pemerintah yang pada umumnya kepentingan negaralah yang menjadi aturan atau ukuran.
HAL-HAL YANG MENYEBABKAN GUGURNYA HAK UNTUK MENJALANKAN PIDANA :
Yang diatur dalam KUHP :
1.       Matinya terhukum (Pasal 83)
Kewenangan menjalankan pidana hapus jika terhukum meninggal dunia.
2.       Kadaluwarsa (Pasal 84-85)
Jika kita lihat pasal 84 KUHP, maka lamanya kadaluwarsa yang dapat menggugurkan hak untuk melaksanakan pidana adalah 2 tahun bagi segala pelanggaran, 5 tahun bagi kejahatan-kejahatan yang dilaksanakan dengan alat-alat pencetak, 1/3 lebih lama dari jangka waktu kadaluwarsa yang dapat menggugurkan menuntut pidana bagi lain-lain kejahatan. Sehingga berdasarkan ini maka perhitungan 8 tahun untuk kejahatan yang diancam pidana denda, kurungan, penjara yang tidak lebih dari 3 tahun (lihat pasal 78 ayat 2 dan tambah dengan 1/3 tahunnya). 16 tahun untuk kejahatan yang diancam pidana penjara yang lebih dari 3 tahun (lihat pasal 78 ayat 3 dan tambah dengan 1/3nya). Akan tetapi megenai lamanya jangka waktu ini terdapat pembatasan yaitu bahwa lamanya untuk menggugurkan hal untuk menjalankan pidana sekali-kali tidak boleh dikurangi dengan lamanya pidana yang telah dijatuhkan oleh hakim (pasal 84 ayat 3). Oleh karena itu hak untuk menjalankan pidana penjara seumur hidup tidak dapat gugur karena kadaluwarsa, juga hak untuk menjalankan pidana mati tidak dapat gugur karena kadaluwarsa (pasal 84 ayat 4).
Mulai berlakunya jangka waktu kadaluwarsa atau jangka waktu kadaluwarsa menjalankan pidana mulai dihitung pada hari berikutnya sejak putusan hakim mulai dilaksanakan (pasal 85 KUHP).


DAFTAR BACAAN :
Prof. Dr . Wirjono Prodjodikoro, S.H, 2008,  Asas-Asas  Hukum  Pidana di Indonesia, Refika Aditama, Bandung.
Diktat Hukum Pidana.